Langsung ke konten utama

"Teknologi dan Per(adab)an"

Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan teknologi informasi kian pesat, beragam ide, gagasan serta inovasi terus bermunculan juga dikembangkan. Dibanding awal-awal tahun munculnnya era industri, era inilah yang paling besar gerak mobilitasnya. Seluruh negara berlomba-lomba menciptakan, dan memberikan kontribusi besaran-besaran dalam dunia perindustrian, dan lagi-lagi tujuan akhir mereka adalah pasar. Hubungan diplomatik lintas negarapun kebanyakan tidak lepas dari hal ini, atau yang sering disebut dengan hubungan bilateral, meski tujuannya untuk memberikan keuntungan kedua belah pihak, dan membangun kerja sama antar negara yang baik, namun kita tidak bisa mempungkiri bagaimana ketatnya mereka dalam bersaing, dan mencari panggung untuk dapat berdiri dan berkuasa. 

Berbicara tentang kompotisi, apa lagi ke ranah internasional, bukan tidak mungkin bila hal-hal diskriminatif tidak dapat terjadi, salah satu contoh besar adalah persaingan antara negri Paman Sam dan negri Tiong Hoa, yang lagi-lagi mereka akan bersaing untuk mendapatkan negara-negara yang siap bersekutu diantara mereka. Hingga perlindungan atas kemerdekaan, ekonomi, dan politik dibangun di atas ini. Untuk mendapatkan demikian, diperlukan kemampuan membangun komunikasi antar negara yang baik, tetapi apa yang bisa kita petik bila komunikasi, dan kerjasama tersebut hanya akan memberikan tembok diantara kita? atau memberikan kita ruang lalu dipetak-petakkan?. Kita bisa melihat bagaimana konflik yang berkepanjangan di Suriah, atau Israel dan Palestina, yang hari-hari mereka masih berurusan dengan darah, suara isak tangis, ledakan bom, juga ketakutan di sepanjang malam, kita bisa melihat bagaimana dehumanasasi, rasis, yang menjalar di berbagai belahan dunia hanya karena perbedaan pendapat atau miss komunikasi antar sesama. 

Benarkah kemajuan teknologi mencerdaskan kita? Benarkah revolusi Industri adalah pilihan yang tepat untuk kemanusiaan? Nyatanya, justru kemanusiaan dikikis sendiri olehnya, meski tidak bisa dipungkiri laju perkembangan peradaban manusia jauh lebih cepat dan maju ketimbang yang dulu, orang-orang lebih bebas berkreasi juga berekspresi di atasnya, dan mereka bahagia karena itu, namun yang menjadi pertanyaannya kemudian sudah siap kah kita dengan hal ini? Sebuah negara harus melihat kesiapan dirinya terlebih dahulu sebelum benar-benar siap terjun ke dunia yang penuh persaingan ini, bila tidak ia hanya akan menjadi alat untuk kepentingan yang lain. Lalu yang akan menjadi imbasnya adalah para rakyat dari negara itu sendiri.

Hari ini, kecenderungan masyarakat kita soal dehumanasasi sangat mudah ditemui, sebagian besar komunikasi hanya terjalin melalui perantara media komunikasi saja, seperti sosmed, dan yang lainnya. Terlebih di era pandemic ini, orang-orang dipaksa bergantung pada alat atau mesin komunikasi dalam segala jenis aktivitas, yang tidak lain hanya akan menambah kecenderungan-kecenderungan tersebut. Belum lagi peluang kejahatan di dalamnya seperti, penyebaran berita bohong/hoax, pencemaran nama baik, pertikaian antar sesama, sangat banyak ditemui. Sedang di dunia nyata banyak orang-orang yang tidak lagi bertukar sapa hanya karena sibuk dengan media sosial mereka masing-masing. Dengan kata lain, etika, moral lebih rendah ketimbang handphone di genggaman mereka. 

Saat ini orang-orang tidak lagi harus bersusah payah, mencari dataran yang tinggi, mondar-mandir ke sana kemari hanya sekedar memburu jaringan seluler. Atau merogoh dompet dalam-dalam hanya untuk mendapatkan akses dan media komunikasi yang lebih trend dan kekinian. Semuanya serba mudah dan tidak lagi memandang latar belakang/kelas sosial. Meski tidak bisa dipungkiri ada saja beberapa golongan tertentu yang memilih lepas dari hal ini, entah karena alasan adat seperti suku Badui dan yang lainnya, atau karena faktor ekonomi, tetapi tetap saja mobilitas ini hampir tidak bisa dibendung.

Jauh sebelum smartphone, dan sejenisnya menjalar ke mana-mana, satu-satunya mesin industri hiburan yang paling banyak digemari adalah DVD/LCD yang menggunakan kaset, jika ingin hiburan, orang-orang akan berkumpul di satu tempat yang memiliki alat tersebut, tidak banyak yang memiliki alat ini, hanya orang-orang tertentu berdompet tebal yang memilikinya. Mereka akan duduk dengan khidmat, bercakap-cakap, dan saling bertukar bahagia tanpa memandang usia, tidak lupa suara bising dari mesin pembangkit listrik menjadi ciri khas era ini. Bukan kah ini lebih mulia dari mereka yang hanya sebar janji dimedsos hanya untuk kepentingan sementara? Budaya komunikasi seperti inilah yang mestinya terus dilestarikan. 

Zaman boleh berubah, namun etika dan moral mesti tetap di jaga. Kita tidak semestinya gagap diatas teriakan kita sendiri soal Revolusi Industri, sebab yang menentukan maju atau berkembangnya suatu negara bukan sistemnya, tetapi manusianya. Lalu untuk mengimplementasikan hal ini diperlukan kesadaran diri dalam membangun komunikasi yang baik, baik itu komunikasi terhadap sesama maupun terhadap diri sendiri. Sudah seharusnya kita kembali pada kuadrat kita sebagai manusia yang memanusiakan yang lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOTA PENDIDIKAN DAN U GE EM ALA MAJENE

Majene kota pendidikan begitu orang-orang menisbatkan keagungan itu pada sebuah kota kecil yang terletak di tepi barat pulau sulawesi, tepat dipesisir, di hadapan wajah teluk makassar, diantara reruntuhan sejarah kelam kolonial, diantara saksi pemberadaban empat belas kerajaan besar tanah Mandar. Majene kota tua, wilayah yang dulunya memiliki banyak rawa, dan sering banjir, karenanya orang Makassar menyebutnya dengan "Majeqneq" yang berarti berair.  kini tiada sangka sudah bertransformasi menjadi puncuk bunga primadona, rebutan bagi para lebah-lebah yang haus akan manisnya madu. Kota dengan kegiatan dan fasilitas pendidikan teraktif di Sulawesi Barat. Di tengah kota yang kerap kali disebut-sebut dengan Jogja kedua itu(kota pendidikan Indonesia), telah berdiri dengan kokoh kampus besar PTKIN pertama di Sulawesi barat yaitu STAIN Majene, Bila disebut sebagai kampus pemberadaban rasanya mungkin terlalu dini, usianyapun masih tergolong muda, belum cukup satu dekade, d...

Berlayar ke IKN dengan Perahu Tradisional Sandeq

  Butuh waktu tiga hari dua malam, untuk bisa tiba di kota baru, Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, bayangkan saja seberapa lama dan jenuh menunggu, duduk sampai terkantuk-kantuk, sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan di atas kapal, percikan air laut yang tidak pernah berhenti membuat basah dari depan, kiri, maupun kanan, belum lagi kondisi ombak yang sering berubah-ubah, dari yang sebelumnya tenang bahkan tidak ada debur sama sekali, sampai membuat saya diam-diam saja padahal panik setengah mati. Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan perahu Sandeq berlayar hingga berpuluh Mil, setelah tahun sebelumnya juga menyebrang Kalimantan dengan menggunakan perahu nelayan yang perangkatnya sudah sedikit lebih moderen pada perhelatan festival Sandeq 2022. Meski dibantu dengan mesin bermotor kapasitas 140 CC di kondisi tertentu, tetapi tetap saja, layar/sobal menjadi alternatif utama untuk menggerakkan perahu tersebut. Seb...

Mandar geografi atau etnografi?

                                             "Bagaimanapun ia hari ini, bila belum mencintai kebudayaannya sendiri, maka ia hanya akan menjadi bagian dari parasit sejarah". Demikianlah sebuah petuah yang menggerogoti telinga kami sore ini, dari seorang pelaut ulung yang sangat kami hormati, tangannya tak lagi halus, lebih keras dari kulit badak sepertinya, sepuntung rokok yang belum terbakar hinggap di telinga kanannya, tak lupa secangkir kopi juga asbak di hadapannya. Hari ini ia bercerita lebih panjang dari biasanya, sebab salah satu dari kami bertanya perihal asal muasal suku Mandar. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kebudayaan, meski hanya tamatan SD, segala pengetahuannya ia peroleh dari tradisi sastra lisan yang mereka jaga turun temurun dari orang tuanya. Puang Jamal, begitu kami memaggilnya, merupakan sosok yang sanggat kharismatik di Pambusua...