Langsung ke konten utama

Berlayar ke IKN dengan Perahu Tradisional Sandeq

 


Butuh waktu tiga hari dua malam, untuk bisa tiba di kota baru, Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, bayangkan saja seberapa lama dan jenuh menunggu, duduk sampai terkantuk-kantuk, sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan di atas kapal, percikan air laut yang tidak pernah berhenti membuat basah dari depan, kiri, maupun kanan, belum lagi kondisi ombak yang sering berubah-ubah, dari yang sebelumnya tenang bahkan tidak ada debur sama sekali, sampai membuat saya diam-diam saja padahal panik setengah mati.

Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan perahu Sandeq berlayar hingga berpuluh Mil, setelah tahun sebelumnya juga menyebrang Kalimantan dengan menggunakan perahu nelayan yang perangkatnya sudah sedikit lebih moderen pada perhelatan festival Sandeq 2022. Meski dibantu dengan mesin bermotor kapasitas 140 CC di kondisi tertentu, tetapi tetap saja, layar/sobal menjadi alternatif utama untuk menggerakkan perahu tersebut. Sebanyak lima unit perahu Sandeq yang berlayar ke IKN, olehnya masing-masing diisi empat sawi/awak dan satu LO, dan saya diamanahkan di perahu sandeq bernama Dewa Ruci.

Untuk menghilangkan kantuk, di waktu tertentu, saya memilih untuk ngobrol dengan pua' Rahmat, salah satu sawi/awak perahu tentang pengalaman pribadinya selama berlayar, kenapa lebih memilih melaut ketimbang melanjutkan pendidikan, serta hal-hal random lainnya, sampai akhirnya bertanya soal penamaan perahunya sendiri. Menurutnya, perahu Dewa Ruci yang kami kendarai hari ini merupakan generasi ketiga, sejak dulu tahun 1940-an nenek dari orang tuanya sering berlayar hingga Tarakan sampai ke Surabaya untuk mallarung (teknik memancing tradisional) dengan perahu tersebut, lalu hasil tangkapannya dijual, yang dalam perjalanannya bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan karena tanpa mesin. Tentu saja kami bercerita di saat kondisi ombak masih aman-amannya, sambil disuguhkan kopi dan biskuit Hatari, sampai ombak "kappuwakang" (sebutan pelaut mandar untuk arus ombak yang sedikit ganas) kembali menyambar bagian depan dan cadik perahu, tak tanggung-tanggung kopi yang kami nikmati tadi belum habis, terisi kembali dengan rasa yang jadi asin karena percikan air laut. Sialnya lagi hal tersebut terus berulang selama perjalanan dari Sumare, Pulau sabakkatang, Sulawesi Barat sampai di Balikpapan.

Selama perjalanan, sesekali saya juga memberanikan diri untuk membantu para sawi, meski hanya sekedar mattimbang (menyeimbangkan kapal di bagian cadik), tetapi cukup menantang adrenalin, bayangkan saja bagaimana rasanya berjalan dan berdiri di tepi bagian cadik yang diameternya hanya beberapa senti, bagaimana susahnya menjaga keseimbangan untuk tetap bisa tegap meski diterpa ombak berkali-kali, basah, licin, kaki gemetar dihantui kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, sementara itu, betapa kecewanya saya ketika melihat di ufuk, ada gundukan daratan yang dikiranya pulau tujuan padahal hanya sebuah gusung dan pulau yang kosong.

Perahu terus berlayar, pilihannya hanya dua, kalau anginnya bagus, kita lepas tenda yang dipakai berteduh dan naikkan layar untuk menambah kecepatan, tentu konsekuensinya adalah sinar matahari yang menyengat, sampai membuat kulit saya belang dan sedikit terbakar, belum lagi mata perih dan memerah. Saya terus menikmati perjalanan, menikmati kebersamaan dengan mereka, belajar banyak hal tentang ilmu navigasi tradisional atau membaca mata angin, maupun rasi bintang. Berjam-jam menunggu dan melamun diatas perahu, membuat saya berpikir, mungkin seperti ini lah kerinduan dan kasih sayang mereka terhadap keluarganya di rumah, meski posisi saya hanya sekedar LO/pendamping, saya bisa merasakan bagaimana perhatian dan kasih sayang mereka terhadap saya layaknya seorang ayah pada anaknya, yang terkadang, hal-hal kecil seperti, mengingatkan saya untuk tidur dan istrahat sementara mereka masih fokus dengan kemudi atau menawarkan cemilan dan air hangat untuk menghangatkan badan, tidak luput dari mereka.



Senin sore, kami bersandar dan istrahat selama dua hari satu malam di kampung baru, sambil mempersiapkan diri untuk berlayar kembali bersama para perahu layar lainnya dari Eropa. Selama beristirahat banyak sawi/awak perahu sandeq yang bertemu dengan kerabat maupun keluarganya di sana, secara, kalimantan juga salah satu tempat yang sering dijadikan tujuan rantau oleh para diaspora Mandar, termasuk saya yang tanpa sengaja juga bertemu dengan om yang ternyata bekerja di salah satu pabrik di sana.

Saat berlayar sekaligus parade sailing menuju lokasi pulau Balang,  yang dihadiri oleh menteri PUPR, tim kami (Sandeq) diapit oleh beberapa perahu layar lainnya seperti Palari, Pinisi, maupun internasional sailors, masing-masing LO bersama timnya melalui HT (Handy Talkie), mengatur formasi semua Sandeq yang dikendarai sebaik mungkin agar mendapati posisi atau angle yang bagus.  Di sana kami disambut oleh para panitia dan peserta dari Eropa lainnya lalu diundang untuk makan malam di perahu mahligai Pinishi. Diberikan kesempatan untuk menyaksikan pembangunan istana negara, menjajalkan kaki ke titik nol IKN, jalan-jalan ke desa kebudayaan suku Dayak, tentu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya pribadi dan para peSandeq.

Saya juga tidak pernah berhenti takjub dengan keahlian mereka dalam menaklukkan ombak, terutama terhadap punggawa/kapten, bagaimana mereka mampu bertahan, dalam posisi jongkok sambil mengendalikan kemudi, berjam-jam bahkan sampai tiga hari tiga malam tanpa tidur, mata yang terus fokus, sigap dalam segala kondisi, lebih mengutamakan kenyamanan para awaknya ketimbang dirinya sendiri, yang tentu sangat susah ditemui sikap seperti ini di daratan sana. Juga, satu hal yang sering membuat saya canggung ditengah-tengah mereka, yakni perdebatan antar sawi/awak maupun punggawa/kapten selama berlayar, karena perbedaan pendapat dalam menghadapi masalah, gertakan, suara keras, suasana tegang, yang bagi orang asing seperti saya tentu tidak terbiasa. Akan tetapi usai perdebatan tersebut dan setiba di lokasi tujuan, ketegangan saat ditengah laut dan selama berlayar tadi  hilang begitu saja, terakhir pua' Rahmat kembali berbisik kepada saya "pelaut memang begitu, keras, tapi aslinya lembut".



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOTA PENDIDIKAN DAN U GE EM ALA MAJENE

Majene kota pendidikan begitu orang-orang menisbatkan keagungan itu pada sebuah kota kecil yang terletak di tepi barat pulau sulawesi, tepat dipesisir, di hadapan wajah teluk makassar, diantara reruntuhan sejarah kelam kolonial, diantara saksi pemberadaban empat belas kerajaan besar tanah Mandar. Majene kota tua, wilayah yang dulunya memiliki banyak rawa, dan sering banjir, karenanya orang Makassar menyebutnya dengan "Majeqneq" yang berarti berair.  kini tiada sangka sudah bertransformasi menjadi puncuk bunga primadona, rebutan bagi para lebah-lebah yang haus akan manisnya madu. Kota dengan kegiatan dan fasilitas pendidikan teraktif di Sulawesi Barat. Di tengah kota yang kerap kali disebut-sebut dengan Jogja kedua itu(kota pendidikan Indonesia), telah berdiri dengan kokoh kampus besar PTKIN pertama di Sulawesi barat yaitu STAIN Majene, Bila disebut sebagai kampus pemberadaban rasanya mungkin terlalu dini, usianyapun masih tergolong muda, belum cukup satu dekade, d...

Mandar geografi atau etnografi?

                                             "Bagaimanapun ia hari ini, bila belum mencintai kebudayaannya sendiri, maka ia hanya akan menjadi bagian dari parasit sejarah". Demikianlah sebuah petuah yang menggerogoti telinga kami sore ini, dari seorang pelaut ulung yang sangat kami hormati, tangannya tak lagi halus, lebih keras dari kulit badak sepertinya, sepuntung rokok yang belum terbakar hinggap di telinga kanannya, tak lupa secangkir kopi juga asbak di hadapannya. Hari ini ia bercerita lebih panjang dari biasanya, sebab salah satu dari kami bertanya perihal asal muasal suku Mandar. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kebudayaan, meski hanya tamatan SD, segala pengetahuannya ia peroleh dari tradisi sastra lisan yang mereka jaga turun temurun dari orang tuanya. Puang Jamal, begitu kami memaggilnya, merupakan sosok yang sanggat kharismatik di Pambusua...