Langsung ke konten utama

Mandar geografi atau etnografi?

                                            

"Bagaimanapun ia hari ini, bila belum mencintai kebudayaannya sendiri, maka ia hanya akan menjadi bagian dari parasit sejarah". Demikianlah sebuah petuah yang menggerogoti telinga kami sore ini, dari seorang pelaut ulung yang sangat kami hormati, tangannya tak lagi halus, lebih keras dari kulit badak sepertinya, sepuntung rokok yang belum terbakar hinggap di telinga kanannya, tak lupa secangkir kopi juga asbak di hadapannya. Hari ini ia bercerita lebih panjang dari biasanya, sebab salah satu dari kami bertanya perihal asal muasal suku Mandar. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kebudayaan, meski hanya tamatan SD, segala pengetahuannya ia peroleh dari tradisi sastra lisan yang mereka jaga turun temurun dari orang tuanya. Puang Jamal, begitu kami memaggilnya, merupakan sosok yang sanggat kharismatik di Pambusuang, kecamatan Balanipa, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia juga ditemani oleh seorang mahasiswa jurusan sejarah di sebuah kampus ternama di pulau Jawa, Ilham namanya. Bagi kami masyarakat Mandar pesisir, bila laut sedang tidak bersahabat, kapal-kapal tradisional peninggalan leluluhur kami yakni Sandeq (sejenis perahu layar tradisional), akan berbaris rapi di sepanjang bibir pantai, meski tak seramai dulu sebab sekarang tembok besar hasil Reklamasi sudah megotori halaman kami. Biasanya para pelaut yang luang akan berkumpul di sebuah balai bambu berbentuk persegi, tepat berada di hadapan teluk mandar, semilir angin, juga aroma laut menemani mereka di sana. Ada yang hanya sekedar ingin bertemu kerabat kerjanya saat di laut, ada yang hanya jalan-jalan dan cari angin. Anak-anak, remaja, dewasa dan bahkan yang sudah tidak bisa lagi berdiri dengan tegap, sering berkumpul dan membahas apa saja yang menurut mereka menarik. Meski saat ini sedang marak-maraknya isu bola, namun yang membuat puang Jamal lebih bergairah lagi adalah tentang pertanyaan kami, "dari mana asal muasal suku mandar puang? ".


Karen Amstrong dalam bukunya "Sejarah Tuhan" Mengungkapkan bahwa, sejarah manusia adalah proses perjalanan mencari Tuhan, tentang siapa menciptakan apa. Jauh sebelum agama samawi (agama langit) tersebar ke seluruh penjuru dunia; Yahudi, Kristen dan Islam, yang kemudian disebut dengan agama monoteistik, rupanya setiap kelompok atau suku di berbagai penjuru dunia sudah punya kepercayaan mereka masing-masing. Mereka disebut juga dengan  penganut faham kosmosentrisme/animisme, atau agama Ardi. Mereka punya konsep ketuhanan, dan falsafah hidup tersendiri yang tentu tidak bisa disentuh oleh pengetahuan Sainstek manapun. Dan ini masih banyak ditemui di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Seperti suku Indian di Amerika misalnya, atau suku Bugis yang punya mitologi sendiri tentang asal muasal penciptaan manusia, yang kemudian abadi dalam naskah lontara " I la Galigo"(karya sastra terpanjang dan tertua di dunia). Atau tradisi kepercayaan Cina yang meyakini dewa Nuwa sebagai dewi pencipta manusia, keseimbangan alam semesta dalam konteks Yin dan Yang mereka. Juga Bangsa Romawi kuno yang memercayai tiga dewa kehidupan; Mars, Venus, dan Apollo. Nabi adam dalam perspektif islam sebagai manusia pertama, sampai ke revolusi kera oleh Charles Darwin yang sempat menghebohkan dunia di tahun 1859 silam. Demikian pula dengan Mandar yang juga memiliki mitologi dan falsafah tersendiri soal asal muasal kehidupan manusia. 


Dalam mitologi Mandar, dikenal konsep tomanurung yang menegaskan tentang manusia pertama yang turun ke bumi, meski hampir sama dengan cerita Bataraguru dari Bugis, namun mitologi Mandar lebih kepada pendekatan mitos manusia dengan alam. Muis Mandra, seorang sejarawan membaginya jadi empat bagian, dua diantaranya adalah "to kombong di bura'" (Orang yang datang dari busa air, dan "to bisse di tallang" (Yang berarti orang yang datang dari belah bambu). Ada banyak versi mengenai ini. Dalam sejarah tradisi lisan Mandar sendiri, nenek moyang orang Mandar berasal dari ulunna salu (hulu sungai), tentu hal ini tidak rasional, dan sesuatu yang nihil. Manusia apa yang bisa lahir tanpa pembuahan di rahim dan tidak dari proses menjadi embrio?. Namun lagi-lagi untuk memahami hal-hal seperti ini, dibutuhkan kajian dan pendekatan yang lebih mendalam lagi, bisa jadi semacam pendekatan sufistik. Akan tetapi, setidaknya kita faham bahwa sejarah orang-orang mandar dan tanah kelahirannya tidak lepas dari peradaban mereka yang dimulai dari alam, utamanya sungai. 


Secara administrasi, Mandar dihitung sebagai salah satu dari sekian banyaknya suku yang ada di Indonesia. Namun baru-baru ini, pada sebuah agenda dialog kebudayaan yang diadakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menghadirkan banyak tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai penjuru Sulawesi Barat. Dijelaskan bahwa Mandar bukanlah nama etnis ataupun suku, melainkan nama suatu tempat atau wilayah yang di dalamnya terdapat banyak sekali tradisi maupun kebudayaan, dalam artian ia wilayah yang majemuk. Realitas hari ini, orang-orang pesisir menyebut diri mereka sebagai orang Mandar tulen, yang kemudian identitas itu digunakan untuk tindak eksploitasi dan panggung-panggung untuk pemerintah, meski tidak semuanya. Orang-orang di hulu, seperti Ulumandaq, Pattae', Toraja Mamasa, Tappalang, kadang enggan mengklaim dirinya bagian dari Mandar. 


Padahal bila ditelesik kembali, sebenarnya sejarah peradaban di tanah jazirah Mandar itu diawali dan dibentuk di hulu. Menurut cerita leluhur orang Toraja Mamasa, dahulu, di sungai sa'dang to tandayang langi' (orang yang turun dari langit) bertemu dengan to kombong di bura' (orang yang datang dari buih/air) lalu menikah, dari perkawinan mereka lahir sekian turunan yang salah satunya Pongka Padang. Pongka padang meninggalkan Sa'dan lalu hijrah ke arah barat dan tiba di Tabulahan, di sana ia bertemu dengan to rije'ne' yang kemudian dari perkawinan mereka lahirlah kesekian keturunan lagi dan tersebar hingga ke pesisir, termasuk Mamuju, Tappalang, Sendana, Balanipa dan lain-lain, lalu membentuk 14 kerajaan Federasi sendiri yang kemudian dikenal dengan "Pitu ba'bana binanga, pitu ulunna salu" (Tujuh kerajaan di muara, dan tuju kerajaan di hulu). Di masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, Wilayah ini disebut Afdeling mandar atau oderafdeling Mandar untuk setingkat kecamatan. Kata Mandar sendiri berasal dari kata Pandaraq/Mandaraq yang artinya bercahaya, ini tidak lepas dari mitologi mereka dengan sungai, yang bila cahaya bulan menerangi sungai-sungai mereka maka sungai itu akan bercahaya. Sedangkan menurut budayawan Darwis Hamka, Mandar berasal dari kata Mandaq yang berarti kuat, ini tidak lain merupakan interpretasi dari ideologi 14 Federasi kerajaan tadi. Tentang semangat dalam membangun dan memperkokoh tradisi, solidaritas, kebudayaan, dan kerajaan mereka. Barulah setelah Indonesia merdeka sistem berubah dan wilayah ini masuk dalam provinsi Sulawesi Selatan, di tahun 2004 terjadi pemekaran dan mereka ingin membentuk provinsi Mandar, namun karena beberapa kendala, akhirnya sampai hari ini yang menjadi legalitas nama wilayah mereka adalah Sulawesi Barat. 


Langit mulai gelap, baik puang Jamal maupun Ilham, mereka sama-sama pencerita yang baik. Kami hanyut dalam retorika mereka, seolah dipaksa masuk kembali ke tempo dulu dan melakukan perjalanan tour sekaligus belajar di sana. Di perjalanan pulang, aku berfikir mengapa kita selalu egois? Mengapa harus ada perbedaan hanya karena soal identitas dan kepentingan lainnya? padahal literatur sejarah mengatakan bahwa kita mandar berasal dari turunan toraja, toraja dari suku Dayak, dan seterusnya sampai ke suku Mongolia. Atau setidak-tidaknya mengapa kita harus dipetak-petakkan, dan dijual dengan dalih pelestarian namun, halaman kami dirusak sendiri dengan mesin-mesin berat mereka(pemerintah), reklamasi dan lain-lain? Atau jangan-jangan kita belum benar-benar merdeka sepenuhnya? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOTA PENDIDIKAN DAN U GE EM ALA MAJENE

Majene kota pendidikan begitu orang-orang menisbatkan keagungan itu pada sebuah kota kecil yang terletak di tepi barat pulau sulawesi, tepat dipesisir, di hadapan wajah teluk makassar, diantara reruntuhan sejarah kelam kolonial, diantara saksi pemberadaban empat belas kerajaan besar tanah Mandar. Majene kota tua, wilayah yang dulunya memiliki banyak rawa, dan sering banjir, karenanya orang Makassar menyebutnya dengan "Majeqneq" yang berarti berair.  kini tiada sangka sudah bertransformasi menjadi puncuk bunga primadona, rebutan bagi para lebah-lebah yang haus akan manisnya madu. Kota dengan kegiatan dan fasilitas pendidikan teraktif di Sulawesi Barat. Di tengah kota yang kerap kali disebut-sebut dengan Jogja kedua itu(kota pendidikan Indonesia), telah berdiri dengan kokoh kampus besar PTKIN pertama di Sulawesi barat yaitu STAIN Majene, Bila disebut sebagai kampus pemberadaban rasanya mungkin terlalu dini, usianyapun masih tergolong muda, belum cukup satu dekade, d...

Berlayar ke IKN dengan Perahu Tradisional Sandeq

  Butuh waktu tiga hari dua malam, untuk bisa tiba di kota baru, Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, bayangkan saja seberapa lama dan jenuh menunggu, duduk sampai terkantuk-kantuk, sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan di atas kapal, percikan air laut yang tidak pernah berhenti membuat basah dari depan, kiri, maupun kanan, belum lagi kondisi ombak yang sering berubah-ubah, dari yang sebelumnya tenang bahkan tidak ada debur sama sekali, sampai membuat saya diam-diam saja padahal panik setengah mati. Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan perahu Sandeq berlayar hingga berpuluh Mil, setelah tahun sebelumnya juga menyebrang Kalimantan dengan menggunakan perahu nelayan yang perangkatnya sudah sedikit lebih moderen pada perhelatan festival Sandeq 2022. Meski dibantu dengan mesin bermotor kapasitas 140 CC di kondisi tertentu, tetapi tetap saja, layar/sobal menjadi alternatif utama untuk menggerakkan perahu tersebut. Seb...