Di sebuah kota metro politan, diantara hiruk pikuk perkotaan, dengan nafas yang terengah-engah, seorang anak lari terbirit-birit. Tidak karena dikejar anjing atau debkolektor, namun ia dikejar massa sebab kedapatan mencopet. Nahasnya, bukannya berhasil menghindar dari amukan massa, tetapi karena ketidak tahuannya dalam hal membaca, ia malah berakhir dan sembunyi di kantor polisi. Dalam adegan film "Alangkah Lucunya Negri Ini". Karakter Glen adalah satu contoh dari sekian banyaknya anak bangsa yang masih hidup dan mengundi nasib di jalanan, jauh dari keluarga, kumuh, yang kesehariannya hanya berurusan dengan kelaparan, bahkan pengasingan serta pengucilan dari lingkungan sekitarnya. Pada scan ini, Glen yang terpaksa berprofesi sebagai seorang pencopet harus tertangkap hanya karena hal sepeleh, tidak tahu membaca. Tentu sebagian orang akan berfikir, orang seperti apa yang masih buta huruf di tengah-tengah maraknya arus globalisasi, gerakan-gerakan literasi, kemajuan teknologi informasi, dan alternatif-anternatif lainnya, terlebih dengan digratiskannya sekolah oleh pemerintah. Namun kita tidak bisa menafikan realitas yang ada, nyatanya masih banyak anak-anak yang sama sekali belum tersentuh oleh pendidikan. Kita gagap diatas teriakan kita sendiri soal ini.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa untuk tindak kriminalisasi sekalipun pendidikan itu tetaplah penting. Maka benar yang dikatakan oleh Nelson Mandela, salah satu tokoh yang paling berpengaruh di dunia. "Pendidikan adalah senjata yang paling mematikan". Dengan pendidikan orang-orang akan lebih mudah mencapai tujuannya, terlepas dari baik atau buruknya cara yang ia gunakan. Pendidikan tidak melihat bagaimana hasil yang diperoleh, sebab ia adalah alat. Penulis mencoba untuk memantik dan memberikan penafsiran pendidikan seolah ia semakna dengan politik, yakni alat yang digunakan untuk mencapai kemenangan. Para perampok berdasi bisa mencuri dengan santai, dan tangan yang terlipat didepan, dapat menghipnotis masyarakat awam dengan kemampuan retorika yang memukau, membeli hukum, bahkan memanipulasi fakta. Sedang di satu sisi, mereka yang bertaruh hidup untuk hidup, tanpa berbekal pendidikan harus menerima konsekuensi yang begitu besar. Tangan mereka mengepal tetapi bingung dan tidak tahu untuk siapa.
"Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur", demikianlah slogan yang menggambarkan wajah pendidikan di negri kita saat ini, oleh almarhum Kasino warkop. Artis/pelawak populer era 90an. Disetiap tahunnya, kasus korupsi silih berganti, ada yang tuntas, dan ada pula yang masih dalam proses penyelidikan. Tuntaspun masih banyak kejanggalan dalam pelaksaan penegakan hukumnya, Yang lebih ironinya lagi, kasus-kasus yang redup dan hilang begitu saja, bahkan dalam kondisi tangan diborgolpun mereka masih sempat tersenyum dan menyapa media seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal mereka yang mengenakan rompi oranye tersebut adalah orang-orang yang berpendidikan, sekolah tinggi-tinggi sampai ke luar negri, dan punya title panjang yang cukup membuat nama mereka terlihat keren, namun lebih norak dari pada preman pasar, pembegal, dan sejenisnya.
Di sisi lain, kita juga mesti melihat bagaimana kecenderungan storitype masyarakat kita memandang hidup. Dalam kajian postkolonialisme, masih banyak masyarakat kita yang terpengaruh oleh hegemoni kolonial, mereka yang bergelut di dunia pendidikan, dianggap sangat superior, dan lebih beradab, hidup dan bekerja di kota adalah hidup yang sesungguhnya. Sedang beertani, nelayan dan profesi lainnya dianggap tidak memiliki masa depan. Padahal, profesi-profesi tersebutlah yang menjadi jantung bagi negara kita. Dapat kita bayangkan bagaimana hancurnya kita jika proses urbanisasi terus berlanjut dan dikonsumsi mentah-mentah. Dan perlu kita tegasi, bahwa peradaban itu terbentuk oleh masyarakat-masyarakat pedalaman, bukan oleh mereka yang hidup diperkotaan.
Soal rangking pendidikan di Indonesia sendiri masih sangat jauh dari yang diharapkan, menduduki posisi ke-70 dari total 93 negara. Padahal gerakan-gerakan virus leterasi sudah sangat banyak digaungkan, dan menjalar di mana-mana. Belum lagi aktivitas publikasi penilitian Indonesia menempati posisi ke-3 se ASEAN. Angka ini semestinya menjadi batu loncatan untuk memantapkan rovolusi 4.0 yang sering diagung-agungkan itu. Namun nyatanya sampai hari ini, tulisan-tulisan penilitian tersebut hanya menjadi penopang untuk mendapatkan gelar terhadap diri sendiri, bukan solusi untuk negri. Penulis teringat dengan sebuah kalimat pada puisi seorang sastrawan milenial yang tidak terlampau ingin dikenal. Bahwa "skripsi-skripsimu tidak menyelesaikan apapun".
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan di negri kita masih berlaku diskriminatif dalam mengukur isi dompet seseorang, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) masih membudidaya. Jangankan alasan pekerjaan, untuk mendapat bantuan beasiswapun orang-orang akan bersaing dan menghalalkan berbagai cara, dan yang paling sering ditemui adalah pengaruh orang dalam. Bila dalam prosesnya saja tidak jujur, bagaimana bisa melahirkan akademisi yang baik?, lalu ujung-ujungnya mereka yang sudah miskin dan kalah dalam persaingan akan semakin miskin. Namun dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan keduanya, karena kemiskinan itu hadir sebab adanya kerancuan sebuah sistem. Semua bermuara dari buah tatanan dimana minoritas elit, borjuis, dan pengusaha dompet tebal, memiliki kekuasaan untuk melegitimasi aturan, hukum, serta kebijakan untuk diri sendiri dan kelompok mereka. Sedangkan mayoritas seisi rakyat dipaksa terus menerus berdesakan hanya untuk memperebutkan setetes madu, lalu wajah kemiskinan sejatinya tidak datang dari kutukan, takdir, maupun diri sendiri, melainkan struktur sistem yang memiskinkan kita lintas generasi.
Sudah semestinya kita serius menanggapi persoalan pendidikan di dalam negri, prestasi tidak cukup dengan title maupun hubungan diplomatik lintas negri, justru menjauhkan diri dari sikap angkuh dan dehumanisasi adalah modal utama untuk mengubah masa depan negri ini. Bila tidak bisa memperbaiki sistem, setidak-tidaknya kita menjadi setitik angin segar untuk pohon kehidupan bangsa kita kedepan. Sudah seharusnya kita kembali pada ajaran kemanusiaan leluhur kita, Indonesia ada tidak hanya karena keringat dan perjuangan yang berdarah-darah, namun Indonesia ada karena kemanusiaan di dalamnya.
Baguss👍
BalasHapus