Langsung ke konten utama

RAMADHAN 19

Ini merupakan cerpen yang saya tulis saat dunia di landa pandemi di tahun 2020
Sayup-sayup angin malam yang berhembus  dan menari di sepanjang jalan, berhasil  menembus tirai jendela sebuah rumah panggung yang cukup sederhana , bercorak dinding klasik yang indah dari anyaman bambu, beratapkan daun kelapa , pagar-pagar dari  pelapah bambu, bunga-bunga melati di sepanjang pekarangan, membuat setiap mata yang memandang akan teringat dengan masa kecil dan kampung halaman, tidak lupa sebuah guci berukuran sedang tepat di kaki tangga sebagai media pembersih yang wajib, semakin memperindah istana klasik yang hanya dihuni oleh seorang wanita paruh bayah itu.

Malam itu, nyanyian hewan melata dibuat bungkam dengan suara isak tangis yang begitu memilu, suara itu terus saja memanggil nama seseorang dengan sangat parau, terkadang di selingi dengan sesegukan yang kacau. Cairan bening dimatanya tak bisa ia bendung, pipinya yang sudah keriput dibuat basah oleh rintik dari pelupuk matanya. Bukan sekali saja suara itu  terdengar dan membuat khawatir tetangga sekitar, suara  pilu yang berasal dari rumah panggung klasik itu kerap kali terdengar di tiap-tiap malam.

 Suatu waktu, ada tetangga yang merasa sangat khawatir dengan wanita paruh bayah itu, dan memutuskan untuk segera menengok keadaannya. Setalah ditanya ada apa? Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya dan menjawab bahwa ia baik-baik saja. Lalu seperti itulah seterusnya, tiap kali ada tetangga yang merasa khawatir dan bersimpati padanya, wanita paruh bayah itu hanya merespon dengan jawaban yang sama. ”tidak apa-apa nak, nenek  bak-baik saja.” Meski demikian, getar disekujur tubuhnya tidak bisa  berbohong, matanya memancarkan kerinduan yang sangat mendalam. 

Nenek sumiati, wanita paruh bayah yang kesehariannya berjualan rempah-rempah dapur di pasar itu telah berhasil menyekolahkan anaknya hingga sukses. Meski ia sendiri buta huruf dan tidak tahu menahu tentang teknologi, namun ia sangat peduli terhadap masa depan dan pendidikan anak-anaknya, baginya masa depan anaknyalah yang paling utama, terkadang di waktu-waktu lemburnya ia masih saja mencari pekerjaan selingan, seperti menenun, menumbuk kacang hijau, dan mencari makanan ternak milik tetangga. Ia juga terbilang mahir dalam urusan dapur, kerap kali kampung halamannya mengadakan kenduri, ia selalu menjadi koki andalan. Sejak suaminya meninggal dunia dulu, beban keluarga harus dipikul olehnya. Dan membuatnya harus berjuang sampai banting tulang sendirian, Kini anak-anaknya sudah sukses, masing-masing dari mereka sudah berkeluarga dan hidup di luar kota.

Di tiap-tiap waktu tertentu, terkadang rumah itu sangat ramai, suara tangis bayi menggelegar di kamar-kamar, canda dan tawa mekar diruang tamu dan dapur, anak-anak bergembira, bermain klereng dan boneka Barbie dari kertas karton di pekarangan. Anak dan cucu-cucunya menebar kebahagiaan mereka di sekunjung rumah, membuat rumah itu seakan diisi oleh malaikat-malaikat pembawa bahagia. Namun itu hanya sementara, sebab tidak satupun dari mereka bisa  menetap disana dan meninggalkan pekerjaan  mereka di luarkota. Pekerjaan telah menuntut mereka untuk meninggalkan sang ibu sendirian di kampung halaman. Sebelumnya  nenek sumiati hanya ditemani oleh anak bungsunya. Aco, namun lagi-lagi mimpi nenek sumiati untuk melihat anak-anaknya sukses harus merelakan  kerinduan menggerogoti hari-harinya. Lantaran si bungsu juga harus melanjutkan kuliahnya diluar kota. Baru beberapa bulan ditinggal si bungsu, kesedihan nenek sumiati sudah tidak bisa ia lerai, membuat malam-malamnya terasa sangat sengsara.

Jelang penantiaannya beberapa bulan dan isak pilunya yang sudah menjalar di kesehariannya, akhirnya waktu yang ia tunggu-tunggu akan tiba, yaitu bulan ramadhan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, orang–orang akan berbondong-bondong untuk mudik dan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tentu ini menjadi angin segar baginya, sebab para malaikat-malaikat pembawa bahagianya juga akan berdatangan, rumahnya yang sepi akan kembali ramai oleh anak dan cucu-cucunya. Sebelum mereka berdatangan, biasanya anak-anaknya memberi tahu nenek sumiati lewat telepon milik tetangga, sengaja karena ia sendiri tidak tahu cara mengoperasikan handphone. Pernah sekali Andi, si kaka menawarkan handphone kepadanya agar lebih mudah berkomunikasi, namun nenek sumiati tetap menolaknya karena alasan-alasan tertentu, “Nak, ibumu ini sudah tua, untuk memahami benda  canggih seperti itu, rasa-rasanya ibu sudah tidak layak lagi nak.”  sudah beberapa kali anak-anaknya mencoba menawarkan, namun ia tetap saja bersikeras menolaknya. Dan akhirnya, satu-satunya jalan untuk tetap bisa berkomunikasi dengannya hanya dengan bantuan dari tetangga. Sekedar menanyakan kabarpun juga harus lewat tetangga.

Di pagi yang cerah, setelah beberapa hari nenek sumiati mengurung diri di rumah, dan menghiraukan perhatian para tetangga, akhirnya iapun keluar, sekedar bersih-bersih dan menyapa bunga-bunga kesayangannya. Dengan bermodal  kabar tentang ramadhan yang semakin dekat, Nenek sumiati berhasil mengusir kesedihannya di malam-malam kemarin. ia merasa sangat senang, ia kembali tampak bersemangat dan sangat ceria sambil menyapu di pekarangan rumahnya, seakan kemenangan akan datang menghampirinya, musim dan angin segar akan datang memeluknya, tak henti-hentinya ia berkhayal tentang kebahagiaan yang ia rindui itu dan membuat senyum kecil terukir dipipi keriputnya. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, ia bergegas berangkat kepasar untuk sekedar melanjutkan hobi sekaligus pekerjaan yang sangat dicintainya sejak dulu. yakni berdagang. ia juga ingin menemui kerabat-kerabat kerjanya dipasar, sudah agak lama ia tidak bertemu dengan mereka, walaupun sekedar duduk menunggu dan berdagang sambil bercerita seharian, itu sudah lebih dari cukup bisa membuatnya bahagia dan melepas tawanya yang khas. Sebenarnya anak-anaknya sudah melarangnya bekerja dan menyurunya untuk istirahat saja, masalah keuangan biar mereka yang menanggung. Bila nenek sumiati membutuhkan uang mereka bisa mentransfer lewat tetangga. Namun sama halnya dengan yang sebelumnya lagi-lagi ia menolaknya, bagi nenek sumiati materi bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya merasa bahagia, justru waktu-waktu kebersamaanlah yang bisa membuat ia merasa lebih tenang dan senang.

Untuk sampai di pasar nenek sumiati mengendarai sepeda tua miliknya, dengan sepasang keranda bambu berisikan dagangan di jok belakang lengkap dengan topi berbentuk kerucut yang juga terbuat dari anyaman bambu dikenakannya. ia menempuh waktu hampir dua jam lamanya dari kampung pedalaman sampai ke jalan poros. selama di perjalanan dari jalan poros ke pasar, orang-orang memandanginya dengan tatapan yang sedikit aneh, ada yang dengan tatapan ibah, khawatir, curiga, dan bahkan ada yang sampai mengacuhkan senyumnya. “Ada apa? Apa ada yang salah pada penampilan saya? “ gumamnya dalam hati. ia sangat heran, seperti ada sesuatu yang terjadi namun tidak dipahaminya, rasa-rasanya baru dua pekan ia mengurung diri di rumah tidak keluar dan berinteraksi dengan orang-orang luar. "kenapa lingkungan di luar sudah berubah saja? aneh." desusnya. Sesampainya di pasar, ia tak menemukan satupun orang di sana. Hanya ada spanduk-spanduk aneh yang  terpampang di sepenjuru sisi pasar, yang sama sekali tidak bisa ia baca. Sebenarnya di hari pasar sebelumnya sudah ada himbauan perihal penanganan wabah pandemi yang sedang melanda dunia dan negri, juga sudah disampaikan lewat pamflet-pamflet yang tersebar. Namun dikiranya selembaran itu hanya secarik kertas kampanye milik calon legislatif saja, yang katanya lebih paham soal kemanusiaan. karena ia buta huruf, tak ayal jika ia menghiraukannya. Nenek sumiati semakin kebingungan ia pun berbalik dan mencoba untuk mendagangkan dagangannya dengan berkeliling ke desa-desa tetangga. pernah sekali ia mendengar cerita para tetangga menyebut kata "corona" dengan narasi dan pembawaan yang menakut-nakuti. namun tak pernah sekalipun terfikirkan olehnya bahwa itu adalah sejenis virus, dikiranya "corona" adalah nama orang yang suka membunuh, tentu ia tak menghiraukannya sebab kerinduan terhadap anak-anaknya sudah menguasai fikirannya sepanjang hari. ditambah lagi kampungnya yang berada dipedalaman dan jauh dari kermaian. Akses internet yang susah, dan hanya ada jaringa telpon seluler disana, segala informasi hanya berkembang dari mulut ke mulut.

Di sepanjang jalan ia melihat orang-orang menggunakan masker yang bermacam-macam. Ada yang bermotif, ada yang polos dan ada juga yang tampak hanya sekedar untuk gaya-gayaan, mereka terus saja menatapnya dengan tatapan yang kurang menyenangkan, gerbang-gerbang masjid dihiasi dengan spanduk-spnduk aneh yang sama ditemuinya saat di pasar, begitupun disekolah-sekolah “apa sekarang hari perayaan kemerdekaan? Tapikan belum bulan agustus, lagian kenapa bukan merah putih yang terpampang?” gumamnya lagi, iapun merasa semakin aneh, akhinya nenek sumiati berinisiatif untuk melakukan hal yang serupa, diambilnya selendang  di bahunya dan di ikat pada bagian mulut dan hidung lalu dijadikannya masker. Meskipun ia tidak tahu untuk apa ia melakukannya. Namun kebingungannya kali ini mengalahkan ketidak tahuannya.

Matahari semakin meninggi, nenek sumiati terus mengayuh sepedanya menjajakan dagangannya, sesekali ia menyeka keringat di wajahnya yang keriput. Namun hal itu sama sekali tak menghapus semangat dan moodnya hari ini. Ia tidak sabar lagi untuk tiba di rumah, dan segera menyiapkan segala persiapan untuk menyambut  anak dan cucu-cucunya nanti. Desa demi desa sudah ia singgahi namun tak satupun dari mereka mengijinkan ia masuk untuk  berdagang, tiap desa yang ia singgahi selalu saja mendapat  perlakuan yang sama, orang-orang berkerumun di jalan masuk desa, namun mereka menutup dan membuat sebuah palang dari bambu, juga dengan spanduk-spanduk aneh yang sama ditemuinya saat di pasar tadi, awalnya ia diperiksa layaknya narapidana. Lalu disuruh duduk dan menunggu. Hanya karena batuk sekali saja nenek sumiati tiba-tiba diusir dan dituduh sebagai ancaman pembawa malapetaka, maklum akhir-akhir ini ia juga sering batuk. Sontak hal itu membuatnya sangat kaget dan terheran, dosa apa yang telah ia lakukan sehingga orang-orang tidak mengijinkannya masuk? Dan lagi, ia sama sekali tidak merasa mengidap penyakit apapun, batuk yang dialaminya hanya sekedar faktor usia.  Di sisi lain para pendatang yang nasibnya sama  dengannya bisa lolos dan masuk ke desa itu dengan bermodal kerabat. bahkan ada yang lepas dari pemeriksaan para pengawas. yang membuatnya semakin bingung, setiap post yang dilewatinya selalu membahas tentang virus, "memangnya virus apa? siapa yang sakit? apa hubungannya saya dengan musibah di desanya?" desusnya sambil mengernyitkan alisnya yang mulai putih.

Waktu menjelang sore, tak satupun dagangannya laku terjual, seharian penuh nenek sumiati hanya mendapati kejadian dan perlakuan yang aneh disepanjang jalan, yang membuatnya kian merasa bingung. Sesampainya di istana klasiknya, seorang tetangga sekaligus kerabat dekat yang memang sering membantu mendatanginya, dan memberi tahu bahwa ada panggilan dari kota sebrang yang sedang mencarinya, sudah lama ia menunggu momen itu, kabar yang sejak jauh hari sudah dinanti-nantinya, dengan senyum yang melengkung di antata pipi keriputnya, iapun mulai mendengarkan dengan sangat bahagia dan khidmat, setiap kata yang keluar dari corong volume handpone itu dikerkahnya dengan jelas, tak satupun kata dilewatinya, namun kata-kata itu berhasil membuat sekujur tubuhnya seketika mati rasa, ada kata yang terbesit jauh sampai ke dalam ulu hatinya.  desir di dadanya tak bisa ia bendung. satu pesatu telpon dari anaknya juga mulai berdatangan dan hanya memberikan kabar dan kata-kata yang sama.
Sejak saat itu, Nenek sumiati hanya menghabiskan waktunya di sepanjang ramadhan dengan mengurung diri. sesekali ada tetangga yang merasa ibah dan menengoknya sekedar membawa lauk, telpon dari anak-anaknya tak ia hiraukan. 

Sejak saat itu juga, rumah yang berdinding anyaman bambu dan beratapkan daun kelapa itu tiap malamnya hanya dihiasi dengan suara-suara tangis yang sesegukan, pintu dan jedelanya jarang terbuka, bunga-bunga melati di halaman rumahnya tak terurus. Daun-daun dan rerumputan dibiarkan tumbuh dan berantakan dimana-mana. Hingga akhirnya suara tangisnya tak lagi terdengar, jauh sebelum pandemi dan kebijakan saat itu dinyatakan benar-benar berakhir.


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOTA PENDIDIKAN DAN U GE EM ALA MAJENE

Majene kota pendidikan begitu orang-orang menisbatkan keagungan itu pada sebuah kota kecil yang terletak di tepi barat pulau sulawesi, tepat dipesisir, di hadapan wajah teluk makassar, diantara reruntuhan sejarah kelam kolonial, diantara saksi pemberadaban empat belas kerajaan besar tanah Mandar. Majene kota tua, wilayah yang dulunya memiliki banyak rawa, dan sering banjir, karenanya orang Makassar menyebutnya dengan "Majeqneq" yang berarti berair.  kini tiada sangka sudah bertransformasi menjadi puncuk bunga primadona, rebutan bagi para lebah-lebah yang haus akan manisnya madu. Kota dengan kegiatan dan fasilitas pendidikan teraktif di Sulawesi Barat. Di tengah kota yang kerap kali disebut-sebut dengan Jogja kedua itu(kota pendidikan Indonesia), telah berdiri dengan kokoh kampus besar PTKIN pertama di Sulawesi barat yaitu STAIN Majene, Bila disebut sebagai kampus pemberadaban rasanya mungkin terlalu dini, usianyapun masih tergolong muda, belum cukup satu dekade, d...

Berlayar ke IKN dengan Perahu Tradisional Sandeq

  Butuh waktu tiga hari dua malam, untuk bisa tiba di kota baru, Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, bayangkan saja seberapa lama dan jenuh menunggu, duduk sampai terkantuk-kantuk, sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan di atas kapal, percikan air laut yang tidak pernah berhenti membuat basah dari depan, kiri, maupun kanan, belum lagi kondisi ombak yang sering berubah-ubah, dari yang sebelumnya tenang bahkan tidak ada debur sama sekali, sampai membuat saya diam-diam saja padahal panik setengah mati. Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan perahu Sandeq berlayar hingga berpuluh Mil, setelah tahun sebelumnya juga menyebrang Kalimantan dengan menggunakan perahu nelayan yang perangkatnya sudah sedikit lebih moderen pada perhelatan festival Sandeq 2022. Meski dibantu dengan mesin bermotor kapasitas 140 CC di kondisi tertentu, tetapi tetap saja, layar/sobal menjadi alternatif utama untuk menggerakkan perahu tersebut. Seb...

Mandar geografi atau etnografi?

                                             "Bagaimanapun ia hari ini, bila belum mencintai kebudayaannya sendiri, maka ia hanya akan menjadi bagian dari parasit sejarah". Demikianlah sebuah petuah yang menggerogoti telinga kami sore ini, dari seorang pelaut ulung yang sangat kami hormati, tangannya tak lagi halus, lebih keras dari kulit badak sepertinya, sepuntung rokok yang belum terbakar hinggap di telinga kanannya, tak lupa secangkir kopi juga asbak di hadapannya. Hari ini ia bercerita lebih panjang dari biasanya, sebab salah satu dari kami bertanya perihal asal muasal suku Mandar. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kebudayaan, meski hanya tamatan SD, segala pengetahuannya ia peroleh dari tradisi sastra lisan yang mereka jaga turun temurun dari orang tuanya. Puang Jamal, begitu kami memaggilnya, merupakan sosok yang sanggat kharismatik di Pambusua...