Langsung ke konten utama

Manusia vs Manusia

Telah dimuat di koran harian Sulbar Express edisi juni 2020

oleh : Aswar abdillah

Sudah hampir mendekati setengah tahun lamanya, bumi dilanda konflik yang berkepanjangan. Para media nasional maupun internasonal tidak henti-hentinya memberitakan kabar yang mengerikan. Kematian dimana-mana, krisis ekonomi meraja lela, ketakutan menyelimuti, sedang obat atau penangkalnya tak kunjung ditemui. Ini merupakan beberapa hal dari seperkian banyaknya dampak yang ditimbulkan pandemic kali ini, meski bukan kali pertama bumi dan manusia dilanda konflik  dan wabah yang terbilang cukup  mengerikan. Sebab di abad-abad sebelumnya juga ada beberapa wabah yang hampir membinasakan separuh umat manusia. Wabah “Black Death” oleh virus “Xenopsyslla Cheopis” misalnya, yang terjadi sekitar abad ke-14, yang mengakibatkan dua ratus juta populasi orang eropa tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Tentu angka ini diwajarkan, sebab saat itu ilmu sains dan kedokteran belum berkembang semaju hari ini. Terlebih orang-orang saat itu juga masih menganut faham Theosentrisme, bahkan ada yang masih setia dengan kosmosentrisme, dimana orang-orang lebih cenderung  percaya dan setia terhadap ajaran-ajaran leluhur ketimbang ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain mereka membatasi fikiran mereka dalam mengeksploitasi lingkungan dan alam semesta. 

Namun angka kematian tidak bisa dijadikan neraca dalam mengukur seberapa mengerikannya suatu wabah, sebab gugur atau tidaknya, bukan urusan manusia. Orang-orang hanya bisa mengobati, menangani, dan memperkecil angka kematian saja, Tidak dengan kata “menghentikan”. Akan tetapi, bukan ini yang menjadi dampak terbesarnya. Kematian dan krisis ekonomi hanya bagian kecil dari seperkian  dampak-dampak yang ditawarkan. Justru dehumanisasi adalah dampak yang paling besar dari dulu hingga sekarang, meski saat ini sudah ada undang-undang yang melindungi serta menaungi, yang kemudian disebut dengan konstitusi HAM,  namun sekarang dehumanisasi lebih bersifat halus dan tak kasat mata, yang diserang bukan lagi fisik tapi beralih ke psikis.

 Sejak awal mula covid 19 diumumkan sebagai pandemic global, banyak Negara diberbagai belahan dunia dibuat panik, berbulan–bulan sebelum wabah itu benar-benar menjalar dimana–mana, Masing masing sudah sibuk mempersiapkan penanganan juga memperkuat banteng keamanan, Namun tidak semuanya melakukan yang demikian, ada saja Negara yang malah menyepelakan hal tersebut, Amerika serikat misalnya, meski negri paman sam ini terkenal dengan kemajuan dan pusat perekonomiannya yang luar biasa, namun ia menempati posisi pertama sebagai Negara dengan penyabaran covid 19 tercepat di dunia dengan angka kematian mencapai 6.095 orang. Tentu ini bisa mejadi rujukan betapa kemajuan sutau Negara tidak menjamin keselamatan warganya, jika Negara maju saja bisa mencetak angka yang sedemikian tinggi. Bukan hal yang tidak mungkin jika Negara berkembang saperti Indonesia sangat berpotensi melebihi angka yang dicetak oleh negri paman sam itu.

Di Indonesia, jauh sebelum angka-angka maut tercetak dan terpampang diberbagai media massa nasional, pemerintah sudah mengeluarkan himbauan akan bahayanya pandemic ini, juga sudah memperingati seluruh warganya untuk tetap mengikuti arahan dan protocol kesehatan dari pemerintah.  Akan tetapi, minimnya pemahaman, sempitnya akses informasi, dan keteledoran beberapa warga, membuat keadaan malah menjadi simpang siur, tagar (di ruma aja) yang diangkat oleh netizen/warga +628 sebagai bentuk kepatuhan terhadap pemerintah hanya sekedar simbolisasi semata. Lalu ujung-ujungnya, dampak psikisnya, paling imbas di kalangan masyrakat awam. Sebab  mereka sama sekali tidak tahu tentang seluk beluk pandemic yang sedang dibicarakan oleh dunia dan kalangan kaum borjuis ini, mereka hanya menelan mentah-mentah informasi yang ditawarkan ,  yang tidak lain hanya menambah ketakutan dan mengubah tradisi harmonisasi mereka yang sama sekali tidak dimiliki oleh orang-orang kota. Yang mereka tahu, ini adalah kabar maut  yang tidak hanya bisa melumpuhkan nyawa, tetapi juga melumpuhkan mata pencaharian mereka.

Tidak bisa dipungkiri media massa juga sangat berperan penting dalam perkembangan kasus ini, ditengah cacatnya akses informasi dalam negri, ada saja oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang malah memanfaatkan momen tersebut, menyebar informasi dan berita bohong/hoax, memancing kepanikan warga, juga semakin menambah ketakutan mereka. Beberapa bulan yang lalu masyarakat diberbagai daerah dibuat heboh oleh kabar tentang seorang bayi ajaib yang baru lahir dan bisa bicara. Dalam isu yang tersebar, konon bayi itu berpesan agar semua masyakat mengonsumsi telur rebus ditengah malam sebagai upaya penangkal virus. Tentu ini tidak logis, apa lagi syaratnya harus tengah malam, seketika itu juga masryarakat dibuat panik, mereka berbondong-bondong mencari telur ditengah malam, yang kemudian harganya dipermainkan oleh para pedagang telur.  Kita tidak bisa menyalahkan secara sepihak, sebab lagi-lagi masyarakat awam hanya akan mengonsumsi mentah-mentah informasi yang mereka dapatkan, justru system keamanan informasilah yang harusnya ditingkatkan, terlebih masyarakat Indonesia sangat identik dengan sesuatu yang bersifat mistik. Jadi tidak heran jika mereka sangat mudah percaya dengan informasi yang seperti ini.

Di tengah kasus yang sedang melanda bumi hari ini, orang-orang jadi cenderung membatasi diri dalam berinteraksi, saling mengawasi, bahkan tak jarang ada yang saling mencurigai. Orang-orang yang dirapid dan diisolasi tidak mau mengakui diri, sebab itu akan menjadi beban dan aib sosial bagi keluarganya, lalu berakhir dengan pengasingan dari linkungan sekitar. Di lain sisi hal ini, malah menimbulkan konflik yang baru, bukan lagi tentang  manusia versus virus. Tetapi manusia versus manusia. Banyak para cendekiawan dadakan bermunculan, dengan fatwa-fatwa yang menolak kebijakan pemerintah, dengan mengatasnamakan kemanusiaan, bahkan tak jarang ada yang  menyeret agama sebagai tameng penguat fatwanya. Keharmonisasian antar sesama semakin terkikis.  Sedangkan cinta di mata mereka terhadap seesama kian menipis. Hal inilah yang kemudian membuat pandemic di negri hari ini, tak kunjung usai, kita baru saja mengeluarkan himbuan social descanting, sampai ke tahap PSBB, sedang di Negara tetangga seperti Thailand dan Brunei Darussalam sudah dalam tahap pemulihan dan semakin membaik. Tentu kita juga sangat  mengharap hal yang demikian.

 Karena ini adalah polemik yang bersifat universal, kerja sama dan solidaritas yang tinggi sangat dibutuhkan disini, antara pemerintah dan masyarakatnya tidak boleh saling meninggikan ego masing-masing. Semuanya harus memikirkan dan mementingkan kemaslahatan bersama, sebab ini tidak lagi tentang virus dan maut yang dijanjikanya, juga bukan tentang  ras, ideologi, kebudayaan, apa lagi agama, akan tetapi ini tentang manusia. Bagaimana kita bisa memanusiakan manusia dengan tidak menjadi sumber kegaduhan apa lagi sampai memancing kehancuran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOTA PENDIDIKAN DAN U GE EM ALA MAJENE

Majene kota pendidikan begitu orang-orang menisbatkan keagungan itu pada sebuah kota kecil yang terletak di tepi barat pulau sulawesi, tepat dipesisir, di hadapan wajah teluk makassar, diantara reruntuhan sejarah kelam kolonial, diantara saksi pemberadaban empat belas kerajaan besar tanah Mandar. Majene kota tua, wilayah yang dulunya memiliki banyak rawa, dan sering banjir, karenanya orang Makassar menyebutnya dengan "Majeqneq" yang berarti berair.  kini tiada sangka sudah bertransformasi menjadi puncuk bunga primadona, rebutan bagi para lebah-lebah yang haus akan manisnya madu. Kota dengan kegiatan dan fasilitas pendidikan teraktif di Sulawesi Barat. Di tengah kota yang kerap kali disebut-sebut dengan Jogja kedua itu(kota pendidikan Indonesia), telah berdiri dengan kokoh kampus besar PTKIN pertama di Sulawesi barat yaitu STAIN Majene, Bila disebut sebagai kampus pemberadaban rasanya mungkin terlalu dini, usianyapun masih tergolong muda, belum cukup satu dekade, d...

Berlayar ke IKN dengan Perahu Tradisional Sandeq

  Butuh waktu tiga hari dua malam, untuk bisa tiba di kota baru, Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, bayangkan saja seberapa lama dan jenuh menunggu, duduk sampai terkantuk-kantuk, sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan di atas kapal, percikan air laut yang tidak pernah berhenti membuat basah dari depan, kiri, maupun kanan, belum lagi kondisi ombak yang sering berubah-ubah, dari yang sebelumnya tenang bahkan tidak ada debur sama sekali, sampai membuat saya diam-diam saja padahal panik setengah mati. Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan perahu Sandeq berlayar hingga berpuluh Mil, setelah tahun sebelumnya juga menyebrang Kalimantan dengan menggunakan perahu nelayan yang perangkatnya sudah sedikit lebih moderen pada perhelatan festival Sandeq 2022. Meski dibantu dengan mesin bermotor kapasitas 140 CC di kondisi tertentu, tetapi tetap saja, layar/sobal menjadi alternatif utama untuk menggerakkan perahu tersebut. Seb...

Mandar geografi atau etnografi?

                                             "Bagaimanapun ia hari ini, bila belum mencintai kebudayaannya sendiri, maka ia hanya akan menjadi bagian dari parasit sejarah". Demikianlah sebuah petuah yang menggerogoti telinga kami sore ini, dari seorang pelaut ulung yang sangat kami hormati, tangannya tak lagi halus, lebih keras dari kulit badak sepertinya, sepuntung rokok yang belum terbakar hinggap di telinga kanannya, tak lupa secangkir kopi juga asbak di hadapannya. Hari ini ia bercerita lebih panjang dari biasanya, sebab salah satu dari kami bertanya perihal asal muasal suku Mandar. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kebudayaan, meski hanya tamatan SD, segala pengetahuannya ia peroleh dari tradisi sastra lisan yang mereka jaga turun temurun dari orang tuanya. Puang Jamal, begitu kami memaggilnya, merupakan sosok yang sanggat kharismatik di Pambusua...